Untuk kalian yang akan membaca, harap cari posisi wenak (PW) karena jumlah halaman waktu si Bunga menyerahkan naskah ke saya ada 10 halaman dengan spasi 1,5 :v
Enjoy her story
***
Setiap orang
punya kehidupan masing – masing yang kadang gak pernah diketahui alurnya.
Pernah gak sih kalian hidup jadi orang yang berbeda dibandingkan remaja pada
umumnya? Sekilas langsung aja deh perkenalannya. Namaku Bunga, aku anak pertama
dari 4 bersaudara. Aku lahir dari keluarga dengan latar belakang yang bisa
dibilang kurang dan penuh perjuangan. Aku memiliki karakter yang emosional,
periang, supel, korban buli, tempat curhat, dll. Aku lahir di Kota X dengan
kondisi memprihatinkan. Dimana pada umumnya kelahiran seorang anak masih
didampingi oleh neneknya, disiapkan segala sesuatu yang megah, dan sebagainya.
Tapi tidak buatku, aku lahir ditengah kondisi dimana kedua orang tuaku bekerja
sebagai ibu rumah tangga dan ayahku yang hanya sebagai seorang kuli bangunan
dengan gaji pas – pasan dan memiliki tanggungan 3 orang adik ipar. Tidak hanya
itu, kondisi ibuku yang sakit-sakitan menjadikan ayahku menahan tangis dan rela
bekerja sesulit apapun.
Terkadang
usaha seorang memang tak cepat membuahkan hasil sebelum mencapai waktunya.
Alhasil bersama kesulitan ada kemudahan. Ayah ku dipertemukan dengan seorang
pengusaha berhati mulia yang super duper baik namun sensitif. Beliau bernama
pak Trisno. Beliau begitu prihatin dengan keadaan orang tuaku. Hingga pada
akhirnya beliau menantang ayahku untuk menjalankan usahanya dengan sistem
setoran sesuai target. Usaha apakah itu? Iya, usaha berjualan jamu ditempat
yang sepi dan belum begitu banyak penghuninya. Perjuangan memang tak berhenti
begitu saja, ayahku meniti semuanya dari awal. Bayangkan balita seusiaku harus
tidur berlaskan kardus. Jika aku merasakan sakitnya, mungkin bisa jadi aku malu
atau entahlah. Tapi perjuangan memang sebanding dengan hasil. Waktu terus
berlalu. Usaha yang belum begitu dikenal, hingga akhirnya berkembang sedikit
demi sedikit serta disertai air mata, ibuku pun semakin sehat, setoran kepada
pak Trisno bisa terpenuhi, dan kedua orang tua ku bisa menyisihkan uang.
Ketika usaha
jamu tersebut semakin pesat dan latar belakang keluarga dari kedua orang tuaku
yang tergolong kurang mampu, ayahku memutuskan untuk membuka cabang, dan
akhirnya usaha tersebut dipindah alihkan kepada keponakan ayahku yang tergolong
usia bekerja. Sebelum nya Pak Trisno memberikan usaha itu kepada ayahku karena
melihat kerja keras ayah dan ibuku, serta tawaku yang tak pernah merasakan
sakit nya perjuangan orang tuaku dan itu berlangsung kurang lebih 2 tahun.
Waktu terus
berjalan. Semakin hari kondisiku semakin terlihat memburuk. Ayahku memutuskan
pindah ke Kota Y untuk melakukan perantauan kedua. Dimana uang yang pernaha
disisihkan di Kota X sebagai modal awal. Alhamdulillah pindah di Kota Y
menjadikan ku bisa tidur beralaskan kasur walaupun kasur kecil. Setidaknya aku
merasakan yang namanya pengorbanan. Bayangkan saja, kami tidur ber3 dikasur
yang hanya berukuran lebar setengah meter dan panjang 2 meter. Miris bukan? Iya
hidupku dari kecil tergolong berbeda dari pada anak kecil pada umumnya, yang
bisa merasakan tidur spring bed dan sebagainya. Dibalik tawa tetap ada
kesedihan. Dan itu pasti hukumnya bagiku dalam setiap kehidupan. Seiring
perubahan hidup kedua orang tuaku, aku mulai sakit –sakitan. Entah apa yang
menjadikan ku seperti ini. Aku menderita penyakit yang memprihatinkan. Aku
menderita asma yang akut. Hampir seminggu sekali aku merasakan susah bernafas
layaknya orang yang hampir sekarat. It’s okay. Aku tak pernah mengeluh. Sebagai
anak kecil aku hanya bisa menangis dan tertawa selayaknya anak kecil. Sampai
pamanku dan tanteku selalu menjadikan keponakan kesayangan yang tak terkira.
Aku memiliki 2
paman dan 3 tante dari ibuku. Namun yang paling dekat adalah 2pamanku dan tante
ku yang terakhir. Mereka begitu menyayangi ku. Namun semuanya berubah ketika om
ku yang paling besar menikah. Entah apa yang dilakukan oleh istrinya aku tak
mengerti. Dia begitu membenci keluarganya. Termasuk aku keponakan kesayangan
dan ibuku yang rela memberikan hasil jerih payah ayahku yang diiringi air mata
demi modal usahanya yang sekarang beranak pinak namun kami tak pernah menikmati
hasilnya sedikitpun. Itu merupakan tamparan besar untuk ibuku ketika seorang
adiknya harus berubah dan usaha kami memperbaiki tak membuahkan hasil. Tidak
hanya itu, tanteku tak ingin sekolah lagi dan memutuskan pergi dari rumah.
Hmmm.. sebersalah apa coba ibuku kepada nenekku dengan keadaan kakek yang suka
menikah dan sebaginya. Penderitaan belum selesai.
Kembali ke
hidupku yang mulai jauh dengan salah 1 pamanku, ketika ayahku mulai menambah
usahanya, penyakitku semakin prah, bahkan seminggu aku harus merasakan sesak
nafas sebanyak 2 kali dengan lama 2 hari. Bagi orang yang sehat, pernahkan
kalian membayangkan kalian diposisiku? Aku merasakan hal itu dari usia 2 tahun
sampai 14 tahun. Sempat berhenti 2 tahun, dan akhirnya kembali lagi merasakan
nya lagi. Alhasil 12 tahun sakit –sakit an guys. Tamparan lagi bukan untuk
ibuku? Usiaku semakin bertambah, usaha ayahku juga bertambah. Dan itu terjadi
ketika adik pertama ku terlahir. Dia bernama Suci. Dimana rejekki bertambah
sakit pun semakin parah. Yang aku ingat saat itu usiaku duduk dikelas 2 sd.
Dimana usaha ayahku menjadi bertambah. 3 tempat di Koya Y, dan juga membuka
usaha rumah makan di Kota X yang dikelola oleh keponakan ayahku. Aku selalu
sakit tepatnya dihari yang lebih identik dengan hari lahirku. Yang menyakitkan
adalah dimana aku susah bernafas disertai muntah bercampur darah selama
seminggu. Pernah kah merasakan seperti itu? Membuat orang tua kalian menangis
bukan karena keinginan kalian? Semoga tidak! Ayahku hanya menangis dan
menguatkan ku bahwa akan ada masa dimana aku akan sembuh. Dalam hatiku aku
selalu berkata, aku akan sembuh, dan aku tak akan merepotkan kedua orang tuaku.
Tahukah kalian? Sesakit itu, aku berusaha untuk tetap mengaji, sekolah, dan
lainnya. Sampai jika aku merasa tidak mampu baru aku mau beristirahat.
Roda terus
berputar, mungkin kelahiran adik kedua ku yang bernama Suci merupakan posisi
atas orang tuaku. Sebelumnya sebanyak itu cabang yang dimiliki kedua orang
tuaku kami belum memiliki rumah sendiri. Entah apa alasannya aku tak mengerti
sampai saat ini. Yang jelas setiap uang yang kami sisihkan, kami gunakan untuk
membantu keluarga kami yang belum beruntung seperti kami. 2 tahun berjalan,
adikku bertambah. Sebut saja namanya Ridho. Dia merupakan satu –satunya adik
laki laki ku yang harapannya akan lebih gigih dibandingkan kedua orang tuaku
saat ini. Seiring dengan itu juga usaha ayahku di Kota X yang dikelola oleh
kedua keponakannya bangkrut entah karena apa. Bersamaan denga itu juga aku
masih sakit –sakitan dan warung yang
lain mulai tutup satu persatu. Hingga pada akhirnya hanya 1 yang
bertahan, yaitu warung yang merupakan sekaligus tempat tinggalku. Waktu terus
berlalu. Hingga sampai dimana ayah ibuku terlibat pertengkaran hebat karena
keadaan dimana sumbernya keponakan mereka masing – masing. Pertengkaran
selesai. Hidup kami stagnan disatu tempat hingga akhirnya kontrakan rumah kami
tidak bisa disambung lagi. Kami pun pindah dilokasi yang jaraknya tidak begitu
jauh dari lokasi sebelumnya. Dan 2 tahun lamanya kami hidup diposisi stagnan.
Dan dalam keadaan itu juga ibuku kembali melahirkan seorang adik perempuan.
Sebut saja Nisa namanya. Kelahiran adik terakhirku bisa dibilang kami mengalami
masa tersulit lagi. Dimana kedua orang tuaku ditipu oleh karyawannya hingga
ketika kami ber3 ingin melanjutkan kebangku smp, sd, dan tk. Tapi apalah daya,
masuk smp aja pinjem uang tetangga. Korban keadaan adik cowok ku nih.
Sekolahnya dipending. Dan dampaknya dia pemalu berat karena waktu masuk Tknya
dipending setahun. Ngenes lagi. Tapi kami tak pernah lupa yang namanya
bersyukur. Eitsss, ini cerpen ya, bukan tempat mengeluh, hehe.
Hmmmm,, aku
mulai sudah bisa berfikir, bisa mengerti yang namanya sulit. Karena lingkungan
ku yang di didikk keras dari kecil, aku tak pernah menghiraukan yang namanya
perbedaan. Tapi lama – kelamaan semuanya menjadikan ku iri. Dimana ketika orang
lain bisa berkumpul bersama keluarga jauh dan bisa bangga dengan pemberian
tante, paman dan kakeknya, sedangkan aku? Keluargaku menyebar dimana saja,
lebaran saja tak pernah berkumpul, bahkan berapa jumlah saudaraku dari ayahku
saja aku tak tau pasti.
Mengharukan
bukan kisah kami? Dimana anak pada usiaku bisa bermain sebebas layangan
terbang, aku dibatasi kondisi kesehatan, hingga pada akhirnya aku menemukan
kondisi yang menjadikan ku merasa minder diantara teman – temanku. Kesehatan
yang baik, keluarga yang harmonis, tanpa didikan keras. it’s okay!! tiap orang
tua punya cara masing – masing mendidik anaknya, terutama orang tua yang pernah
merasakan pahitnya berjuang.
Tepatnya tahun
2004 kami menikmati rumah baru dimana harga sewanya super duper mahal. Uang
saku ku selama setahun mungkin tak cukup menjadi investasi untuk membayarnya.
Kehidupan baru dimulai. Dimana seperti biasany, aku selalu sakit ketika pikiran
dan lelah hinggap ditubuhku. Seiring bersamaan dengan sakitku yang belum
sembuh, adik – adiku juga bertambah besar. Aku memiliki adik yang jaraknya
cukup jauh denganku. Jarak usia ku dengannya kurang lebih 6 tahun. Dia bernama
Suci. Suci merupakan adik kesayangan ku yang selalu mengurusi ku disaat aku
sakit. Bayangkan anakkecil yang duduk dibangku TK rela tidurnya terjaga demi
seorang kakaknya yang selalu sakit –sakitan. Dimana ayahku bekerja lebih giat
demi mempertahankan 5 anggota keluarga dan jam tidurnya tak pernah beraturan.
Kadang aku iri melihat pekerjaan orang tua teman – temanku. Dimana mereka tak
perlu berfikir sulit untuk menghilangkan kekhawatiran mereka seperti aku. Lihat
saja! Mana ada orang tua yang membiarkan anaknya berjualan diusia yang
seharusnya masih bermain bebas dilapangan tanpa beban. Hidupku dipenuhi
keterbatasan. Aku tak bisa tidur larut malam lebih dari jam 9. Telat sedikit
saja jam tidurku, bakal kacau kesehatanku. Selama bertahun – tahun aku
merasakan seperti ini.
Waktu terus
berlalu. Pamanku sudah punya kehidupan sendiri, kita tak pernah berjumpa. Lain
lagi dengan paman dari ibuku yang terakhir. Ketika dia sudah menikah,
penghasilan 50 rb seminggu masih dibagikan kepadaku. Aku memang keponakan
kesayangan dia kali. Dia bernama paman Rico. Berbeda dengan paman Jack.
Kekayaannya hanya untuk keluarga istri saja. Bahkan terlintas difikiranku
kemiskinan menjadikan kita dekat, hingga aku pernah berkata” paman Rico aja
yang miskin masih bisa berbagi, kenapa paman Jack yang motor dan mobilnya
berlebihan 10 ribu uangnya saja aku tak pernah menikmati. Kondisi keluarga
ibuku dan ayahku yang tergolong kurang harmonis menjadikan ku malas jika
bertemu saudaraku yang karakternya berbeda sekali dengan karakterku. Hal itu
menjadikan ayah dan ibuku selalu berkata jika kami ber4 bertengkar, “aku tak
ingin punya anak yang berbeda paham selalu seperti kami, lebih baik kami mati
dari pada kami harus memiliki anak –anak yang tak beda dengan kondisi kami”. Mungkin
itu yang menjadikanku semakin selalu berfikir emosional. Dimana ibuku selalu
berkata, “ ibu dan ayah tak punya siapa – siapa, jika kamu neko – neko seperti
remaja lainnya, dan kamu gagal, kepada siapa lagi kami meminta bantuan kalau
bukan kepada kamu dan adik – adikmu”. Usia kelas 5 Sd udah sering dapat
tamparan nasehat kayak gitu lho guys. Kalian pernah gak tuh dapat omongan gitu?
Kalau belum, jangan sampai ya, cukup cerita ini memotivasi dan pengalaman aja.
Waktu semakin
berjalan, dimana hidup kami sampai aku kuliah tetap stagnan. Hidup dirumah yang
jadi satu sama tempat usaha, buka kurang lebih 22 jam, dengan karyawan yang tak
bisa dipercaya, sulit mencari karyawan yang sesuai sama kebutuhan dan bertahan
lama serta jam terbang kedua orang tuaku yang berbeda. Dimana ketika ayahku
bekerja ibuku istirahat dan ketika ibuku bekerja ayahku yang istirahat. Pernah
kebayang gak tuh? Suami istri punya anak 4, gak pernah liburan, yang ada
berusaha berjuang menghidupi ke 4 anaknya. Keadaan ku yang seperti ini menjadikan
cenderung pendiam dilokasi sekolh atau manapun. Bisa dibilang aku kuper tingkat
maksimal. Tak peduli hal cinta, main pun tak pernah. Yang ada dipikiranku
membantu orang tua, dan belajar. Ketika aku menginjak usia remaja, dan
penderitaan sakitku berakhir, aku menjadi lebih percaya diri. Alhamdulillah aku
mulai bisa menyesuaikan. Sampai aku duduk dibangku SMA, dan aku memutuskan
untuk mengikuti organisasi di SMA ku yang gak kalah sibuknya sama kerjaan ku
dirumah. Aku jadi lebih jarang dirumah. Namun jika ibuku lelah, tetap saja
langkahku dibatasi oleh tanggung jawab dirumah. Aku terima kok, toh aku juga
jadi bakal lebih terjaga perilakunya jika sering dirumah. Keadaan seperti itu
menjadikan ku bisa memanage segala keuangan ku, dan adik – adikku meniru hal
itu. Kakak yang baik bukan? Tidak hanya itu, aku sekolah sambil berjualan. Dan
itu ditiru oleh adikku Suci. Dan aku bersyukur aku bisa memberikan kesan baik
kepada adikku. Walaupun aku tergolong malas diantaara ke3 adikku yang lain.
Sejauh
setengah perjalanan hidupku bersama kesulitan orang tuaku, alhamdulillah aku
mulai jarang sakit – sakitan. Fisikku mulai berbeda, berat badanku menjadi
bertambah, nafsu makan ku mulai bertambah ketika sakitku mulai jarang kambuh.
Aku bersyukur untuk hal itu. Namun, penderitaan tidak berhenti disini. Ketika
aku sehat, aku diberatkan dengan kondisi dimana kegiatan ku padat, dan gantian
Suci yang menderita. Suci terserang penyakit ginjal. Dimana kondisi ginjalnya
kurang berfungsi dengan baik. Istilah kasarnya bocor ginjal lah kalau pada gak
tahu. Yaelah, hidupku kok melankholis banget yak?? Dimana remaja diusia ku
berfoya – foya, pacaran dll, aku mengurusi beban kedua orang tuaku yang tak
terkira guys! Untuk yang pertama kalinya adiku dirawat dirumah sakit karena
penyakit yang dideritanya. Suci dirawat dirumah sakit selama 1 minggu. Pada
waktu itu aku duduk dikelas 1 SMA dan dia duduk di kelas 4 SD. Kedua adikku
yang paling kecil dia hanya pengikut suasana. Dimana dia hanya mengikuti alur
karena belum mengerti yang namanya kerja keras. Apalagi mereka tidak merasakan
yang namanya tidur dikardus. Jangan ah. Kasihan ini jaman modern. Udah gak
jaman anak kecil tidur dikardus. Haaha, bercanda kok. Cukup kakaknya aja yang
ngerasain perjuangan bapak ibuknya. Yang penting mereka harus ngerti tapi
jangan sampai merasakan. Ya gak?? Iyain aja deh
Roda terus
berputar. Yang namanya grafik juga pasti naik turun. Anggap aja kalian baca ini
cerpen lagi memahami kurva yang ada dipelajaran matematika. Satu tahun lamanya
adikku menderita penyakit tersebut. Beda denganku, kalau sakit bawaannya kadang
marah –marah. Kalau Suci nih ya, dia selalu diam, tersenyum, dan seolah tidak
merasakan sakit. Apalagi kalau lagi senyum, ih lesung pipitnya tu loh, bikin
ayem sama ngilangin kekhawatiran kita. Selama setahun juga kedua orang tuaku
bolak balik rumah sakit, mengobati adikku. Adikku menjalani hari –harinya
dengan senyuman. Suci tuh ya, orang yang paling beda dari kami ber3. Dia
pendiam, gak banyak omong kayak aku, tapi kalau kita lagi nggosip sih, ya sama
aja sih sebenarnya sama aku. Dia juga berjilbab diusia sebelum balig loh,
ngajak temen2nya loh. Keren gak tuh?! Dia lebih suka bekerja langsung daripada
bicara, rajin lah. Pokoknya beda jauh sama sifatku yang 50% malas. Tanpa
disadari Suci selalu membuat diary yang inti dari isinya adalah dia bangga
memiliki kakak dan orang tua yang sangat menyayanginya sejauh ini. Ya sama
kayak aku, dia selalu merasa bersalah jika merepotkan orang tua kami. Dia juga
menuliska bahwa kadang orang itu tidak bisa merasa puas. Intinya dia menuliskan
jangan mengeluh, bersyukur, dan ikhlas lah dalam mengahdapi hidup. Sesakit
apapun kondisinya, tugas sekolah nya gak pernah terbengkalai loh. Bahkan
disuruh cuti sekolah aja dia gak mau. Hingga tepat dibulan maret 2012, tepat ketika
kami dikelas 2 SMA dan 5SD, kondisi kami sama sama lagi kacau. Kami berdua lagi
batuk kering. Dimana kondisi ginjal adikku sudah mulai membaik. Namun jalan
Allah memang gak pernah terduga. Ketika kondisi ku membaik, justru Suci malah
memburuk. Hb nya hanya berjumlah 8. Sedangkan hb normal aja 12. Akhirnya dokter
menyarankan untuk memasukkan adikku kerumah sakit. Dan dia harus dtransfusi
darah sebanyak 6 kantong. Jujur saja aku miris dengan keadaan, aku yang masih
belum sembuh bisa apa? Bisa diem doang dan merasa gak berguna. Mau transfusi
umur aja belum cukup. Akhirnya kita beli darah di PMI. Namanya transfusi .
kadang cocok kadang enggak. Okay. Perjalanan menyakitkan hampir dimulai lagi
nih. Bunga yang gak pernah menangisi keadaan kecuali kalau lagi sakit, nangis
lagi. Kenapa gak aku aja yang sakit lagi. Kan udah biasa, dia masih terlalu
kecil buat merasakan. Kadang rencana Allah yang lebih baik belum tentu kita
bisa terima. 3kantong yang sudah ditransfusi terhenti karena tubuh adikku tidak
kuat. Dia kejang berapa menit sekali. Hingga kejang terparahnya berefek
panjang. Kejang terparah menjadikan dia tidak bisa melihat sesaat. Kami ber3
menangis. Entah aku salah mendengar atau tidak, ketika kejang terparah, aku
mendengar ucapannya, “ yah kayaknya entar lagi Suci udah mau mati”. Gimana gak
tambah nangis, digituin sama adik yang selalu ngurusin aku waktu sakit. Pada hari itu juga, aku mulai merasa ada yang
aneh dari adikku, mulai dari perkataannya yang ingin pulang terus, dan berkata
kalau dia akan sembuh. Dan ketika aku bertanya apa yang dia rasakan ketika dia
sakit, dia selalu berkata, enak. Helloooo, mana ada yang bilang sakit itu enak.
Itu menandakan kalau adikku baik. Hingga tiba saatnya kondisinya memburuk
ditengah malam. Dan pada waktu itu aku gantian berjualan dan mengurus rumah
beserta isinya. Termasuk kedua adikku yang masih mungil – mungil.
Malam itu
menunjukkan pukul setengah 3 lebih. Ketika aku hendak makan, setelah tak makan
karena khawatir dengan kondisi adikku, telpon ku berdering, ibuku menangis. Tak
pernah terlintas bahwa aku harus kehilangan adikku. Dan akhirnya aku menangis
lebih parah daripada kedua orang tuaku. Aku kehilangan teman hidup yang paling
berharga. Orang yang pernah mengurusi ku ketika aku sakit hingga sesehat ini
pergi terlebih dahulu. Tangisku menuju rumah sakit semakin keras. Dalam hati
mengapa cobaan bertubi. Harusnya aku lebih kuat daripada orang tuaku. Tapi
justru aku yang paling parah menangis. Menangisi kesalahan, menangisi kenapa
saat terakhirnya aku tak disampingnya, menangisi mengapa aku tak bisa
mengurusinya hingga sembuh, menangisi apa yang kita rencanakn ketika lulus tak
akan tercapai. Aku menyalahkan keadaan. Menyalahkan semua perawat. Dan mengamuk
hebat dirumah sakit. Ayahku hanya diam, melihat ku sperti itu. Ibuku hanya
menangis disudut ruangan. Paman Jack datang, semua datang kecuali paman Rico
yang sedang mengalami masalah berat diluar sana. Aku tak mempedulikan orang
–orang disekitarku. Aku hanya menangisi jenazahnya. Jujur ini lebih menyakitkan
dari pada sesak nafas bertahun – tahun.
Sore itu
pemakaman selesai. Banyak tamu yang berdatangan. Kedua adiku mulai sadar bahwa
mereka telah kehilangan seorang kakaknya. Dan sore itu juga kami menemukan
sebuah karya. Suci selalu mengikutiku. Dia suka menabung, suka membuat cerita
seprtiku, dan meniruku berjualan. Karya cerpennya yang menceritakan awal
perjuangan nya melawan rasa sakit yang tak pernah ia keluhkan. Dan kami harus
memulai lembaran baru dimana kami memulai perjalanan tanpa 1 aggota. Ikhlas itu
sulit guys! Sejak itu kami menjadi lebih pendiam. Aku cenderung lebih malas,
ayah dan ibuku hanya menangis, kedua adikku menjadi melamun. Harusnya aku lebih
kuat karena aku anak pertama yang bakal menopang beban lebih hebat daripada
beban ini. Tapi faktanya aku tak sekuat biasanya. Aku justru selalu cekcok
dengan ibuku karena perubahan ku yang belum bisa menerima keadaan.
Kami mulai
membiasakan diri tanpa Suci. Namun pahit nya hidup kami, belum berhenti. Selang
setahun kami ditampar kabar buruk lagi, kakak dari ibuku terpeleset dan karena
kondisi mental nya yang tergolong kurang karena korban kekerasan kakekku dimasa
mudanya, dia hanya diam, keterbatasan pengetahuan menjadikannya menganggap hal
sepele. Hingga pada akhirnya beliau dirwat dirumah sakit. Dan meninggal dunia,
karena pembekuan darah diotak. Dan dua anggota keluarga kami mendahului kami.
Om Rico tak menghadiri lagi pemakaman tersebut.
Karena kondisi rehabilitasi yang harus ia jalani selama beberapa tahun.
Betapa kurusnya ibuku saat ini. Selang setahun kemudian kakekku meninggal
karena sakit keras. Dan menimbulkan pertikaian antara ibuku dan om Jack. Aku
dan ayahku hanya bisa menghibur ibuku tanpa bisa ikut campur. Sungguh parah om,
kelakuanmu, disaat kehilangan masih saja sempat –sempatnya perhitungan, apalah
arti uang dibandingkan saudaramu om? Lebih memilih keluarga istri dan harta
dibanding keluarga sendiri yang merelakan jerih payahnya untukmu hingga
berhasil. Entahlah, aku semakin merasa gila merasakan hal ini. Selang setahun
kemudian aku kehilangan tanteku karena pendarahan hebat saat melahirkan anak
keduanya. Bayangkan ibuku kehilangan 4 saudara kandung, ayah, anak, kakak dan
adik. Bahkan orang yang spendapat saja tidak bisa ada disampingnya dan
menyaksikan pemakan ke4 saudaranya.
Hari terus
berlalu. Sampai pada akhirnya aku tak pernah main jika dirumah. Ayahku ayah
yang kuat. Mendampingi seorang istri yang begitu hebat tamparan hidupnya. Dan
aku mempunyai beban berat. Tak punya rumah, harus bisa membanggakan diri untuk
orang tua, dan benar –benar sebagai panutan. Sejauh ini kami tak hanya lelah,
karena cobaan, kami kemalingan berkali – kali, ban mobil ayah hilang ke4 nya
dan sebagainya. Bisa jadi, mungkin kami kurang mensyukuri. Tapi entahlah,
justru orang yang mendapat cobaan, katanya orang yang memang disayang sama
Allah. Diusiaku yang beranjak dewasa, aku selalu menjadi tempat keluhan ibuku,
teman –teman organisasiku, belum lagi kakak – kakak angkatku. Terkadang ketika
waktu main tiba, dan aku harus pulang untuk membantu orang tuaku, aku merasa
kurang beruntung. Mengapa aku tak seberuntung mereka yang bisa bermain diluar
sana sepuasnya tanpa memikirkan darimana uang yang mereka dapatkan untuk
bermain? Mengapa aku tak seberuntung mereka? Aku merasa begitu jika aku
mencapai titik jenuh. 1 hari pun tak pernah terlewatkan untuk mencari uang oleh
orang tuaku. Karena masih ada beban besar yang harus mereka topang hingga aku
sudah bukan tanggung jawab mereka. Aku yakin aku kuat. Dimana aku harus
memikirkan beban banyak, bahkan kesehatanku sampai tak pernah ku pedulikan.
Terlebih lagi ketika aku terlibat masalah hati dan cinta. Benar –benar
mengganggu kuliahku.
Aku mencoba
belajar dari semuanya. Apapun yang kita hadapi, berjuang itu perlu. Jangan
pernah iri dengan keadaan. Bisa jadi harusnya aku bangga bisa merasakan masa
tersulit yang belum orang lain rasakan. Hmmm hidup itu gak terduga loh guys.
Mungkin banyak yang mengiraku boros, tak pernah bersedih, selalu bahagia. Hmmm,
ada kalanya orang menutupi masa tersulitnya dengan kegembiraan yang ia ciptakan
untuk orang lain. So La Tahzan guys!
***
Alhamdulillah sudah pada selesai bacanya kan, sungguh cerita yang menguras hati ya. Oke, saatnya saya ikut melengkapi kisah yang dibagikan dek Bunga ini dengan memberi komentar positif.
Sesulit apapun keadaan kita, dengan bersyukur kepada Tuhan kita akan menyadari bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang kurang beruntung di luar sana. Kita beruntung masih ada hal yang kita miliki, sedangkan orang lain tidak. Kita juga bisa belajar dari kisah Bunga bahwa meskipun keadaan kita sedang berada di posisi yang serba sulit, pasti ada jalan keluar jika kita mau berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam berusaha. Ketahuilah bahwa tidak ada usaha yang sia-sia :)
Satu lagi. Keluarga adalah hal yang berharga di dunia. Keluargamu adalah tempat kamu kembali, mereka adalah sebaik-baik tempat untuk pulang, tempat bercerita dan membangun asa. Oleh karena itu, perlakukan keluargamu dengan perlakuan yang sebaik-baiknya, karena keluargamu tidak akan pernah meninggalkanmu. Jaga keluargamu, maka keluargamu ada saat kau membutuhkan.
Sekian :) Thanks for patiently reading ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar