Jumat, 27 Maret 2015

Timika

Postingan kali ini aku pengen mengabulkan permintaan dari temen, isinya sharing pendapat pribadi aku soal kota perantauan di pulau paling timur dari Indonesia. Jadi apapun yang ada di tulisan ini adalah opini pribadi dan sebagian rekan kerja di kota baruku ini.

Aku hadir di Timika tanggal 4 Januari 2015 untuk bekerja di salah satu stasiun TV sebagai staff Transmisi Daerah. Sebuah posisi dimana yang menjalaninya harus ikhlas "dibuang" ke daerah yang ditentukan oleh perusahaan. Oleh karena itu, yang mendaftar pada posisi ini kemungkinan besar (PASTI) diterima.

Pertama kali yang ada di bayanganku ketika aku diterima di Timika adalah sebuah petualangan baru, melihat budaya baru, dan tak ketinggalan seramnya kota yang sering terjadi konflik antar penduduk. Benar saja, baru mendarat di Bandara Mozes Kilangin, langsung ada cek cok antara salah satu penjemput dan petugas keamanan bandara. Mereka adu mulut lantaran anak si penjemput merengek-rengek minta segera bertemu ibunya, sedangkan si petugas ribut gara-gara si bapak menunggu di area yang tidak diizinkan. Suasana adu mulut berlangsung panas, yang berani melerai adu mulut tak luput dari semprot. Tangisan si anak ikut "memeriahkan" silat lidah dua pria pribumi ini. Namun sayang, tak sempat aku melihat dua pria ini berdamai karena jemputan telah tiba.

Saat perjalanan menuju kantor, tidak ada rumah hoai, suku primitif, dan pria berkoteka seperti yang kubayangkan. Masih hijau meski sudah banyak bangunan yang berdiri seperti kota kecil, tapi memang tidak seramai dan sepadat kota di Jawa. Kata teman, jalan-jalan di Timika tidak bakal nyasar, karena Timika hanya kota kecil dan jalan besar di sini masih sedikit sehingga mudah dihafalkan. Cek Google Map saja kalau tak percaya :v .

Masyarakat di sini cukup beragam, mulai dari suku asli papua, orang kei maluku, ambon, toraja, sulawesi, sunda, cina, dan tentu saja jawa. Kebanyakan pekerjaan warga pribumi adalah karyawan PT Freeport. Sedangkan warga pendatang ada yang menjadi karyawan di pemerintah maupun swasta, dan menjadi pengusaha. Yang membuat saya bangga, mayoritas pendatang dari Jawa banyak yang menjadi pengusaha, terutama usaha toko kelontong dan kuliner. Bahkan lebih mudah menemukan warung nasi rames daripada papeda karena banyak warga pendatang dari jawa yang menjualnya. Oleh karena itu banyak makanan Jawa yang bisa dijumpai di sini seperti Soto, Nasi Kuning, Rames, Mie Ayam Bakso, Penyetan, dll. Sehingga kita tidak perlu repot mencari makanan yang halal di sini.

Untuk harga makanan juga masih terjangkau. Seporsi makanan di sini rata-rata dijual 15ribu per porsi. Sebuah harga yang murah, karena porsinya lebih banyak daripada porsi makan di jawa. Saking banyaknya, makan 2 kali sehari saja sudah cukup. Untuk rasa tak perlu ragu, enak dan ramah di lidah. Dan yang paling penting, Air Es disini Gratis ! tidak seperti di Jawa yang biasanya dihargai 500 atau 1000. Tapi yang agak menyebalkan di sini adalah uang receh tidak berlaku ! Hanya uang kertas saja yang diijinkan beredar di pasaran. Jadi kalu belanja di kasir harganya 49.500 dan kita mbayar 50.000, maka tidak ada kembalian untuk kita, bahkan Permen !

Yak, untuk sementara ini dulu yang bisa saya sampaikan. Jangan kuatir, saya akan menyempatkan waktu untuk melanjutkan postingan ini, oke :)
Sekian dan terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar